- Back to Home »
- Analisis , anovanisme , si doel »
- Si Doel dan Orang Jawa di Sekitarnya
Posted by : AnovA
Monday 19 August 2013
Generasi yang besar di era 1990-an
pasti mengenal tokoh Si Doel dalam serial Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003).
Tokoh Si Doel identik dengan Rano Karno. Aktor kelahiran 18 Oktober 1960 selain
karena keterlibatannya sebagai pemeran Si Doel, sekaligus sutradara dan
produser serial tersebut, beliau juga memerankan tokoh Si Doel dalam film Si
Doel Anak Betawi (1970) yang disutradarai oleh Sjuman Djaja.
Rano Karno mengenal tokoh Si Doel
dari kegemarannya membaca literatur-literatur klasik Balai Pustaka sejak kecil.
Si Doel Anak Betawi (1932) karya Aman Datuk Madjoindo adalah salah satu yang
menginspirasinya. “Si Doel adalah obsesi saya, saya sangat menyukai si Doel […]
saya sangat mengidolakan Si Doel”, ungkap Rano Karno mengenai tokoh Si Doel[1].
Si Doel Anak Sekolahan sangat
kental dengan budaya masyarakat betawi. Namun bukan berarti tokoh-tokoh yang
berada dalam sinetron tersebut hanya diisi dengan tokoh-tokoh berlatar belakang
betawi. Ada tokoh Kang Mamang si tukang kredit yang berasal dari Sunda, Koh
Ahong yang berlatar belakang tionghoa dan juga Mas Karyo yang asli pekalongan.
Tokoh-tokoh berlatar belakang non betawi tersebut tentu saja tidak asal muncul.
Komunitas betawi memang terdiri dari bermacam-macam latar belakang. Castles (1967),
menyebutkan bahwa wilayah yang dihuni oleh masyarakat betawi juga dihuni oleh
keturunan Bali, Bugis, Ambon, Melayu, Tionghoa, Sunda, Jawa yang bercampur
melalui kawin campur dan hubungan interkultural lainnya.
Dalam sinetron tersebut
tokoh-tokoh non betawi dan tokoh betawi juga disematkan dengan bahasa dan stereotip
kesukuan yang melekat pada tokoh tersebut. Yang menarik di sini adalah,
munculnya tokoh berlatar belakang suku jawa, tidak hanya muncul dalam serial Si
Doel Anak Sekolahan. Jika kita tarik lebih lanjut, tokoh berlatar belakang suku
jawa sudah ada sejak narasi orisinal Si Doel yang ditulis Aman Datuk Madjoindo
dalam Si Doel Anak Betawi (1932). Tokoh berlatar belakang suku jawa ini memang
tidak berperan langsung dalam narasi-narasi Si Doel, namun cukup signifikan
perannya dalam keberlangsungan narasi si Doel.
Karto dalam Si Doel Anak Betawi (1932)
Sebagai karya sastra angkatan
balai pustaka, Si Doel Anak Betawi justru tidak menggunakan Bahasa Melayu Tinggi
seperti layaknya buku seangkatannya. Aman justru memperkental penggunaan dialek
betawi yang nyablak dalam buku
tersebut. Melalui Si Doel Anak Betawi inilah, Aman mempelopori munculnya karya
sastra yang menggunakan Bahasa Melayu Betawi[2].
Hal ini menarik karena Aman Datuk Madjoindo adalah orang Minang, bukan orang
betawi asli. Beliau bekerja di Jakarta, sebagai guru dan editor di Balai Pustaka.
Pekerjaannya sebagai guru inilah yang mendorong Aman untuk menulis SI Doel Anak
Betawi. Sebuah buku bertemakan pendidikan untuk anak-anak.
Si Doel Anak Betawi menceritakan
kisah tentang si Doel seorang anak betawi yang ingin bersekolah. Dalam konteks
sosial masyarakat saat ini tentu saja premis ceritanya sangat tidak menarik.
Tapi dalam konteks sosial masyarakat betawi pada masa itu, hal ini menjadi hal
yang cukup sensitif. Sekolah dalam masa itu dianggap identik dengan kolonial
belanda. Bersekolah, menerima pedagogig barat dianggap akan menjauhkan mereka
dari ajaran agama. Pada umumnya masyarakat betawi –yang kita tahu sangat kental
dengan budaya Islam, menerima pendidikan dari Pondok Pesantren. Namun tidak
semuanya berkeinginan untuk mendapat pendidikan, karena kebanyakan masyarakat
betawi memiliki tanah yang luas yang dapat diolah dengan mudah.
Hal tersebutlah yang dikritik
Aman Datuk melalui tokoh Si Doel dalam bukunya. Beliau mengkritik masyarakat
betawi yang belum mau menerima pedagogig barat. Penolakan terhadap pedagogig
barat tersebut diungkapkannya melalui penolakan engkong si Doel sebagai berikut:
Bikin aje apa yang lu
suka […] Baik si Doel masuk sekole, baik lu jadiin serani, masak bodoh lu. Gue
kagak perduli! Tapi kagak usah die dateng kesini-kesini lagi, gue kagak suka.
[…] Kalo dia kagak tau ngaji, die jadi kafir lu tau nggak? (Aman, 1932)
Dalam konteks sosial masyarakat
betawi pada saat itu, Aman melihat sekolah kolonial sebagai momok bagi
masyarakat asli betawi. Mereka menganggap sekolah kolonial tersebut sebagai
proses kristenisasi oleh para kolonial. Masyarakat Betawi yang identik dengan agama
Islam tentu saja tidak bisa menerima eksistensi sekolah-sekolah kolonial yang mereka
anggap menyebarkan Agama Nasrani yang dianggap sebagai agama penjajah.
Jika kita menilik latar belakang
Aman Datuk Madjoindo yang seorang minang, kritik terhadap masyarakat betawi
tersebut merupakan bentuk keperduliannya untuk mengubah stereotip masyarakat
betawi yang pada waktu itu dikenal sebagai pemalas, dan tidak berpendidikan.
Latar belakang Minang yang dimiliki Aman juga kental dengan budaya Islam. Sejalan
dengan adagium minang “Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai” (Adat
bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Masyarakat
betawi dan masyarakat minang kental dengan budaya dan agama islam, namun
masyarakat minang lebih terbuka dalam menerima pedagogig barat.
Budaya Minangkabau mendorong
masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak
kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi
Minangkabau yang mengatakan bahwa "alam
terkembang menjadi guru", merupakan suatu adagium yang mengajak
masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam,
pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga
ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum
keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda kampong[3].
Setelah kedatangan imperium
Belanda, masyarakat Minangkabau mulai dikenalkan dengan sekolah-sekolah umum
yang mengajarkan ilmu sosial dan ilmu alam. Pada masa Hindia-Belanda, kaum
Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat
dalam mengikuti pendidikan Barat. Oleh karenanya, di Sumatera Barat banyak
didirikan sekolah-sekolah baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Semangat pendidikan masyarakat
Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan
tinggi, banyak diantara mereka yang pergi merantau. Selain ke negeri Belanda,
Jawa juga merupakan tujuan mereka untuk bersekolah. Sekolah kedokteran STOVIA
di Jakarta, merupakan salah satu tempat yang banyak melahirkan dokter-dokter
Minang. Data yang sangat konservatif menyebutkan, pada periode 1900 – 1914, ada
sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan orang-orang Minang[4].
Perbedaan persepektif mengenai
pedagogig barat tersebutlah yang membedakan masyarakat minang dan betawi. Namun
dalam Si Doel Anak Betawi (1932), Aman
tidak serta merta membenturkan masyarakat betawi dengan masyarakat minang.
Beliau memilih membandingkan dengan orang jawa dengan orang betawi. Ketika Si
Doel ditanya oleh ayahnya apa hadiah yang dia inginkan setelah puasa ramadhan,
Si Doel menjawab ia ingin seragam sekolah. Si Doel membayangkan sekolah sebagai
tempat dimana ia bisa belajar dan bermain dengan gembira, ‘seperti si Karto
tetangga kite’.
Aman Datuk menggunakan nama Karto
–yang merupakan nama Jawa sebagai alasan Si Doel ingin bersekolah. Karto dalam
buku tersebut memang tidak dibahas lebih detil. Namun tanpa adanya tokoh Karto,
si Doel mungkin tidak akan memiliki alasan untuk bersekolah. Dengan
menyandingkan Si Doel Anak Betawi dengan tetangganya yang orang jawa, Aman
seolah mencoba untuk mendorong masyarakat betawi untuk mengikuti pendidikan “seperti
tetangganya orang jawa”. Melalui tokoh ayah tiri Si Doel, Aman mengungkapkan
pentingnya pendidikan
Saya lihat orang di sini
kurang suka menyerahkan anaknya ke sekolah. Mereka hanya diserahkan mengaji
saja […]. Betul belajar mengaji dan agama itu sangat baiknya, tetapi sekolah
jangan dilupakan. Karena dengan ilmu sekolah itulah sekarang orang dapat
mencari hidup yang baik. (Aman, 1932)
Sri, dalam Si Doel Anak Betawi (1973)
Awal 1970-an, seorang sutradara
lulusan All Union State Institute of Cinematography, Moskow bernama Sjuman
Djaja memutuskan untuk mengadaptasi Si Doel Anak Betawi ke media film.
Kapasitas Sjuman Djaja sebagai sutradara tidak perlu diragukan lagi. Ia lulus
dari Institut yang sejak 1986 berganti nama menjadi Gerasimov Institute of
Cinematography –dinamakan sesuai nama sutradara dan aktor legendaris Rusia,
Sergei Gerasimov, sebagai lulusan non Rusia pertama dengan predikat cumlaude.
Dalam adaptasinya, Sjuman Djaja
bekerja sama dengan aktor Soekarno M Noor, yang merupakan ayah dari Rano Karno.
Soekarno M Noor berperan sebagai kakek dari Si Doel dalam film ini. Semula Tino
Karno, anak sulung Soekarno M. Noor yang direncanakan berperan sebagai Si Doel,
namun pada akhirnya Rano Karno yang didaulat untuk memerankan Si Doel,
sementara Tino Karno berperan sebagai Sapi’i, arch nemesis Si Doel yang kemudian menjadi teman akrabnya. Tokoh babe-nya Si Doel diperankan oleh seniman
betawi Benyamin Suaeb.
Terlepas dari latar belakang
keturunan jawa, Sjuman Djaja bisa dikatakan sangat dekat dengan orang betawi. Karena
ia tinggal cukup lama di Jakarta. Sama seperti halnya Aman, Sjuman Djaja
menggunakan tokoh orang jawa sebagai pembanding Si Doel yang mewakili
Masyarakat Betawi.
Si Doel : Doel
nggak mau berkelahi Bu. Tapi si Sapi’i itu emang jahanam, dia selalu bikin
gara-gara.
Emak : Ya biarin
aja dia cari gara-gara. Kamu nggak usah jawab. Memangnya kamu mau jadi jagoan? Nggak
anak, nggak bapak maunya jadi jagoan.
Si Doel :
Mentang-mentang die orang kaya!
Emak : Dengar
nak, kamu mau sekolah apa nggak?
Si Doel : Mau dong
Bu, Pake dasi, pake sepatu, bawa tas kayak si Badu dan si Sri, anak Pak Karto
di sebelah itu.
Emak : Nah, kalo
kamu mau sekolah, nggak usah jadi jagoan.
Babe : Sekolah
juga, jadi jagoan juga. Itu namanya anak si Asman.
Sjuman Djaja meneruskan kritik
dari Aman dalam bukunya, selain dari itu ia menambahkan peran Badu dan Sri anak
Pak Karto. Namun meskipun jika dikomparasikan dengan sumber adaptasinya, film ini
memiliki beberapa perbedaan dengan bukunya. Dalam buku tidak dijelaskan secara
eksplisit latar waktu cerita, namun di film terlihat bahwa latar waktu cerita
tersebut pada tahun 1940 dengan terlihatnya tanggal yang ditulis di pusara babe-nya si Doel. Perbedaan selanjutnya adalah
ayah Si Doel yang baru adalah pamannya Asmat, adik dari babe-nya Si Doel. Asmat
meneruskan budaya betawi ‘turun ranjang’
dengan menikahi janda kakaknya, sementara di buku ayah kedua Si Doel tidak
jelas. Perbedaan lainnya adalah kakek si Doel yang dalam buku Si Doel Anak
Betawi menentang keras si Doel bersekolah, di dalam film, kakek si Doel justru
mendukung, bahkan mengantarkan si Doel di hari pertamanya sekolah. Alasan si
Doel bersekolah pun bukan karena Karto tetangganya yang jawa seperti dalam
buku, namun lebih karena Sri, anak pak Karto dalam film. Cinta monyet si Doel
kepada Sri inilah yang membuatnya ingin bersekolah.
Dalam film ini, peran orang jawa
masih sebagai alasan si Doel untuk bersekolah meskipun bukan sebagai competitor, tapi lebih pada adanya romantic feeling. Film Si Doel Anak
Betawi ini sukses besar, sehingga membuat Sjuman Djaja membuat sekuelnya pada
tahun 1977 dengan judul Si Doel Anak Modern.
Mas Karyo dalam Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003)
Si Doel Anak Sekolahan, memang
bukanlah adaptasi fidel dari buku Si
Doel Anak Betawi (1932), maupun film Si Doel Anak Betawi (1973). Si Doel Anak
Sekolahan lebih sebagai extended adaptation
dari kedua sumber adaptasinya. Rano Karno mengubah tokoh-tokoh dalam narasi si
Doel besar-besaran. Perubahan itu tentu saja bukan tanpa alasan. Tentu saja
tidak mungkin mengangkat kisah anak kecil yang ingin sekolah pada tahun
1990-an. Perubahan ini disesuaikan dengan kemudahan pendidikan, dan program
wajib belajar sembilan tahun.
Dalam Si Doel Anak Sekolahan,
dikisahkan Si Doel sudah hampir lulus dari kuliah. Peran tokoh Mas Karyo di
sini tentu saja sudah beralih, karena tidak diperlukannya alasan Si Doel untuk
sekolah. Mas Karyo (dan Mandra) lebih berperan sebagai arketipe clown, sebagai
pemancing tawa untuk mewarnai narasi Si Doel Anak Sekolahan. Mas Karyo
dikisahkan sebagai seorang perantau dari pekalongan yang bertetangga dengan Si
Doel. Perbenturan budaya antara Mandra yang seorang betawi dan Karyo yang jawa
dikemas sedemikan rupa sehingga menjadi lucu. Almarhum Basuki yang memerankan
Mas Karyo adalah anggota Srimulat, sementara Mandra adalah aktor lenong dan
topeng. Perpaduan dua budaya, betawi yang keras dan jawa yang ngalem malah menjadikan interaksi
menarik diantara kedua tokoh tersebut.
Adaptasi Media, Adaptasi Konteks
dan Peran
Narasi Si Doel mengalami
perubahan dari versi buku Si Doel Anak Betawi hingga serial Si Doel Anak
Sekolahan. Selain perubahan media dari buku ke film lalu menjadi serial,
perubahan yang terjadi juga meliputi perubahan kritik sosial yang disesuaikan
dengan konteks sosial masyarakat pada setiap kemunculan adaptasinya. Perbedaan konteks
social tersebut tentu saja mempengaruhi peran tokoh dalam narasinya, baik
secara teknikal maupun secara fungsional.
Tokoh orang Jawa mungkin dipilih
Aman Datuk Madjoindo, Sjuman Djaja, maupun Rano Karno, karena orang jawa
termasuk kelompok besar sosial masyarakat yang paling berpengaruh di pulau
Jawa. Denys Lombart dalam Le Carrefour
Javanais[5]
membagi pulau jawa menjadi tiga kelompok besar sosial masyarakat. Kelompok
pertama adalah masyarakat pesisir –meliputi pesisir utara Pulau Jawa,
masyarakat Sunda –meliputi Jawa bagian barat, dan masyarakat Jawa –meliputi Jawa
bagian tengah dan timur. Masyarakat Jawa adalah kelompok sosial masyarakat
pulau Jawa yang terbesar.
Adaptasi yang dilakukan Sjuman
Djaja dan Rano Karno merupakan bentuk intertekstualitas antara resepsi dan re-intrepretasi
masing-masing personal terhadap sumber adaptasi dan kondisi sosial masyarakat
saat itu. Mengutip Linda Hutcheon[6],
sebagai proses kreasi, adaptasi selalu melibatkan (re-)intrepretasi dan (re-)kreasi,
keduanya tentu saja tidak bisa lepas dari perspektif pengadaptasi.
[1]
Loven, Klarijn, Si Doel and Beyond: Discourse on Indonesian Television in the
1990s, Leiden University Press, 2008
[2] S.
Amran Tasai, Telaah Susastra Melayu Betawi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1991
[3] A.M.Z.
Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau: Peranan
Ulama Sufi dalam Pembaruan Adat, Marja, 2007
[4] Elizabeth
E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth
Century, 1981
[5]
Denys Lombart, Le Carrefour Javanais,
Essai de Histoire Globale, EHESS, 1990
[6]
Linda Hutcheon, A Theory of Adaptation¸Rouledge,
2006
ngopi sek ndak edan
ReplyDelete